Sabtu, 6 Oktober 2007

.:: Kesan Ramadhan Kareem ::.

Maha suci Allah yang telah menemukan kita dengan bulan suci Ramadhan, bulan yang memiliki beberapa keistimewaan dari hal yang bersifat rahmat (rahmah), keampunan (maghfirah), jaminan pembebasan dari api neraka (itqun minannar) sampai adanya malam seribu bulan (baca: laillatul qadar). Ramadhan yang menemani kita saat ini, tentu punya batas (limit) waktu dan ia juga merupakan "tamu" yang ditetapkan Allâh Swt. untuk kita. Layaknya tamu, Maka Ramadhan yang sedang bersama kita saat ini juga akan kembali pulang ke tempat asalnya dan akan menemui kita kembali tahun depan jika diberi Allâh umur yang panjang.

Setiap manusia pernah merasakan bagaimana kehilangan orang atau barang yang kita sayangi. ketika itu, yang teringat di benak kita betapa pentingnya orang atau barang yang kita sayangi itu, sehingga hal itu menimbulkan kesan yang sangat berharga buat kita. Sangat tepat sekali apa yang dikatakan orang-orang tua kita dahulu, "lebih sakit orang yang ditinggalkan daripada orang yang pergi", artinya bahwa orang yang ditinggalkan akan selalu merasa kesedihan karena yang dilihatnya hanya kesan-kesan dari orang yang pergi. Nah, bagaimana dengan Ramadhân yang hanya tinggal beberapa hari lagi bersama kita. Akankah kita merasa sedih ketika Ramadhân pergi meninggalkan kita? Adakah kesan-kesan yang membekas ketika ditinggalkan Ramadhân?

Ramadhan karim tentu akan meninggalkan kesan-kesan yang sangat mendalam buat kita, sehingga menimbulkan kesedihan ketika Ramadhân berlalu begitu cepat. Diantara kesan-kesan Ramadhân untuk kita:


1. Membentuk manusia yang tertib.

Selama Ramadhan bersama kita, tanpa terasa telah mendidik dan mengajari kita menjadi manusia yang selalu menjaga ketertiban. Contohnya, dari terbit fajar sampai terbenam matahari kita diwajibkan untuk menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak ibadah puasa. Perbuatan ini kelihatannya biasa-biasa saja, tapi pada hakekatnya punya pengaruh besar buat manusia, terbukti sangat sulit sekali manusia bisa melakukan hal ini ketika di luar Ramadhân, dan ketika bersamanya manusia selalu menjaga hal yang dianggap sepele tapi besar manfaatnya. Ramadhân sebenarnya tidak mengajarkan manusia untuk menjaga ketertiban ketika bersamanya saja, tapi juga untuk kehidupan sehari-hari. Ketertiban yang diajarkan Ramadhân selama bersamanya akan menjadikan hamba yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah :183) Maka, otomatislah orang-orang yang bertaqwa itu akan selalu tertib dalam segala hal, karena ia telah didik oleh Ramadhân selama sebulan penuh. Dari hal yang kecil ini, kita dapat mengetauhi apakah Ramadhân telah membentuk kita menjadi manusia yang bertaqwa atau tidak? Ketika diluar Ramadhân, mampukah kita tetap tepat waktu melaksanakan shalat bahkan tetap aktif dalam shalat berjamaah atau tidak? Maka, jelaslah Ramadhân benar-benar telah membentuk kita menjadi manusia yang bertaqwa (muttaqîn). Ketaqwaan yang dibina Ramadhân sebenarnya memiliki bekas (atsar) sampai pada Ramadhân yang akan datang. Hal ini akan dapat dirasakan oleh pribadi setiap muslim. Ketika bersama Ramadhân mampu mengkhatamkan al-Quran lebih dari tiga kali, biasanya hal ini akan tetap terjaga sekalipun diluar Ramadhân. Jadi, jika ingin mengetauhi bagaimana ibadah kita dalam setahun, bercerminlah lewat Ramadhân. Hal ini senada dengan hadits nabi yang mengatakan "jikalau umatku tahu apa rahasia yang tersimpan dalam bulan Ramadhân, niscaya mereka menginginkan seluruh bulan itu Ramadhân".

2. membentuk manusia yang pandai bersyukur.

Benarkah manusia yang berpuasa itu selalu bersyukur kepada Allâh? Memang sebagian kita tidak merasa bahwa dirinya setiap hari selalu bersyukur kepada Allâh. Sekalipun kita tidak pernah melafalkan kalimat Alhamdulillâh, tapi tingkah laku kita selama sebulan penuh menunjukkan bahwa kita selalu bersyukur kepada Allâh Swt. Dimanakah itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita renungkan hadits Rasulullâh Saw. yang menyatakan "Bahwa ada dua kegembiraan yang dimiliki orang yang berpuasa, kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu Allâh di karenakan puasanya". Mungkin kita masih bertanya-tanya ketika membaca hadits tersebut, karena tidak ada tanda yang kelihatannya menunjukkan kesyukuran kepada Allâh Swt., sehingga kita harus mencari dulu apa arti syukur itu sendiri?

Secara umum, bersyukur itu memuji Allâh Swt. dengan hati, lisan dan seluruh anggota tubuh. Sehingga dapat kita katakan bahwa kegembiraan ketika berbuka puasa menunjukkan bukti syukur kita kepada Allâh Swt., syukur mampu melaksanakan puasa dan syukur ketika dapat menikmati rezeki yang diberikan Allâh ketika berbuka. Tanda kesyukurannya, seluruh anggota tubuh kita dapat merasa segar kembali ketika selesai berbuka. Jadi, sebenarnya puasa itu tidak hanya membentuk hamba yang bertaqwa (La'allakum Tattaqûn) saja tapi juga menjadikan hamba yang pandai bersyukur (QS. Al-Baqarah :185). Sifat syukur tersebut akan terus membekas pada diri manusia sampai bertemu dengan Ramadhân yang akan datang jika melakukan puasa dengan penuh keimanan, dan ini sudah dijanjikan Allâh kepada hambaNya dalam Al-Quran. Dari manakah kita mengetauhinya? Hal tersebut dapat kita lihat dari bentuk kalimat yang digunakan. Dalam ilmu gramatikal bahasa arab, setiap penggunaan fi'il mudhâri' penunjukannya hanya pada dua keadaan, saat ini dan akan datang. Kalimat 'tasykurûn' merupakan fi'il mudhâri' yang menunjukkan bahwa manusia yang berpuasa dengan penuh keimanan akan selalu bersyukur kepada Allâh sekalipun Ramadhân tidak lagi bersamanya.


3. membentuk manusia yang jujur

Apa hubungan Ramadhân dengan kejujuran? Apakah setiap orang yang berpuasa dalam bulan itu akan tetap terus bersifat jujur sekalipun Ramadhân tidak bersamanya lagi? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita harus meneliti dulu apa saja nama Ramadhân itu. Diantaranya, syahru al-Tauhid. Ramadhân dinamakan dengan bulan itu, dikarenakan puasa itu merupakan hubungan hamba dengan Allâh. Tidak ada yang mengetauhi kita puasa atau tidak kecuali Allâh Swt., sehingga Ramadhân benar-benar menjadikan kita sebagai hamba yang jujur. Disamping itu, ketika bersamanya kita disarankan untuk sering-sering melafalkan syahadat dan istighfâr, sebagaimana hadits Rasulullah Saw. menyatakan "...hendaklah kamu memperbanyak melakukan empat hal (dalam bulan Ramadhân), dua hal yang membuat Tuhanmu ridho denganmu dan dua hal yang sangat kamu perlukan...". Adapun dua hal yang membuat Allâh ridho dengan kita, bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan memperbanyak istighfar, sedangkan dua hal yang sangat kita perlukan, memohon kepada Allah supaya dimasukkan ke dalam syurga dan dilindungi dari azab api neraka.

Yang menjadi perhatian kita dari isi hadits tersebut, diantara amaliah yang disarankan buat kita untuk mengisi Ramadhân karim memperbanyak mengucapkan lafal tauhid yaitu, syahadat dan istighfar. Tujuan melafalkan ini untuk mengingatkan manusia bahwa berpuasa hanya karena Allâh bukan karena yang lain, sehingga hal ini akan membentuk menusia memiliki sifat kejujuran.



Saudaraku, Ramadhân karim akan pergi meninggalkan kita. Benarkah Ramadhân telah membekas dalam jiwa kita? Akankah kita menangis ketika Ramdhân pamit meninggalkan kita di malam lebaran? Mampukah kita melakukan shalat malam seperti Ramadhân bersama kita? Ya Allâh... Pertemukan kami kembali dengan RamadhânMu tahun depan. Izinkan kami bertemu dengannya tahun depan? Ya Allâh... Jadikan kesan (atsar) yang diberikan Ramadhân ketika bertamu untuk terus bersinar di hati kami. Ya Allâh... Kabulkan doa hambamu yang merindukan Ramadhân tetap bersamanya. Amin.

Rahmat Hidayat Nasution*
Kairo, 9 November 2004.

Sumber tulisan:
Majalah al-Azhar
Majalah al-Wa'yu al-Islam
Sîru as-sâlikîn, syaikh Abu as-Shamad

*Penulis adalah alumnus Madrasah Aliyah Muallimin proyek UNIVA Medan, sekarang sedang melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Cairo-Mesir, Fak. Syariah Islamiyah TK II.

Tiada ulasan: